About Me

Foto saya
http://ferymenuliz.blogspot.com/ adlah blog pertama yang saya buat, didalam nya berisi segala macam pemikiran, analisis, ide, pengalaman, pengetahuan, sampai sok tahu nya penulis ada disini. http://ferymenuliz.blogspot.com/ merupakan wadah bagi si penulis(tentu saja saya sendiri)untuk menampung segala bentuk problem, kejadian,, hal hal dan yang ingin diteriakkannya. http://ferymenuliz.blogspot.com/ ini sendiri tercipta karena banyak nya karya tulis dari si penulis yang hilang tanpa jejak baik itu artikel, puisi,cerpen, sampai segala bentuk kata rayuan yang pergunakan oleh si penulis dalam usaha asmaranya. untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan membiarkan file file penting dan bersejarah lain nya hilang, serta untuk memotifasi terciptanya karya tulis lainnya,, maka dengan penuh kesadaran,,saya: nama : fery afrizqal tptgl : atjeh utara 5 juni 90 pekerjaan : mahasiswa universitas muhammadyah surakarta. fakultas ilmu komunikasi dan informatika. jurusan ilmu komunikasi. menciptakan blog ini,,, trims

cie piyoh

blog ini berisi banyak hal yang ada dipikiran saya,, mencoba menuliskannya bukanlah suatu hal yang salah, baca dan ambillah jika itu benar dan pantas menurut anda, tinggalkan pesan jika banyak kekurangan didalamnya,

Selasa, Juli 27, 2010

MENYIMAK ALBUM SEJARAH FAMILI DI TIRO

Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman, seorang Ulama terkemuka Acheh, memulai karir politik pada tahun 1875. Peranan yang beliau emban multifaceted function –Ya Ulama, ya Umara’ dan ya pejuang (Mujahid)– Diakui bahwa keadaan politik Acheh pada masa itu berada dalam keadaan darurat perang menghadapi serdadu Belanda yang melancarkan perang untuk kedua kalinya, pada 25 Desember 1874. Kepemimpinan Acheh pun berada dalam transisi, dimana Sultan Acheh (Mahmud Shah 870 – 1874)) meninggal dunia pada 28 Januari 1874, akibat terjangkit kolera. Kendali pemerintahan negara Acheh dipegang oleh Majlis Negara Acheh yang beranggota tiga orang:


1. Tuanku Hasjém;
2. Teuku Panglima Polém;
3. Tengku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abèë.


Setahun kemudian –tahun 1875– Majlis Negara melantik Muhammad Dawud Shah famili Mahmud Shah sebagai Sultan Acheh, walaupun masih dibawah umur (berusia 9 tahun). Oleh sebab negara terus-menerus dalam keadaan darurat perang dan diperlukan seorang pemimpin yang berkharisma, maka Majlis Negara Acheh memutuskan melantik Yang mulia Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman sebagai panglima perang dan menyerahkan tampuk pimpinan tertinggi negara dari Muhammad Dawud Shah kepada Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman.

Untuk menggambarkan bagaimana keadaan TNA dibawah pimpinan Tengku Tjhik di Tiro Muhammad Saman, sudah saya tulis dalam artikel: „CEASE-FIRE ACHEH VERSUS PENJAJAH: SIAPA KITA DI DEPAN SEJARAH? Suatu Analisa Historis“ sbb: `Di bawah pimpinan Thjik di Tiro Muhammad Saman, `TNA telah berhasil mempersempit ruang gerak serdadu Belanda, sampai terkurung dalam suatu kawasan di Bandar Acheh. Kawasan ini Belanda namakan dengan: ”geconcentreerde linie” (kuta meusapat). Jangka masa (1884-1896), bisa disifatkan sebagai gencatan senjata (cease-fire), sebab serdadu Belanda tidak berkutik lagi, apalagi melakukan serangan terang-terangan melawan tentara Acheh dan tidak berani lagi berkeliaran memasuki kampung-kampung dan kota. Demikian juga sebaliknya, tentara Acheh, tidak melancarkan serangan terhadap pasukan Belanda, walau sudah terkurung dan dalam keadaan selemah-lemahnya. Untuk melukiskan realitas yang sesungguhnya pada masa itu, J. Kreemer, dalam bukunya: „Atjeh“ menulis: „Dia telah memerintahkan membangun benteng-benteng kecil di sekeliling kota dimana kami terkurung semua, bahkan kalau boleh di pelupuk mata kami, sehingga mereka telah mengurung kami dengan kekuatan senjata.“


Kemenangan Acheh sudah wujud, kendali politik sudah berada di tangan bangsa Acheh pada masa itu. Hanya saja, Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman yang sangat baik budi dan toleran, memberi peluang kepada serdadu Belanda untuk menyerah secara terhormat dengan tidak mesti membunuh mereka, sehingga dalam tenggang masa 12 tahun, telah terjadi hubungan surat menyurat –diplomatic correspondence– antara Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman dengan pemerintah Belanda tahun 1885. Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman –Negara Acheh– menawarkan kepada semua serdadu Belanda yang terkurung supaya:
1. Menyerah kepada tentara Acheh dengan sukarela;
2. Dapat menetap dan bisa berdagang di Acheh;
3. Masuk Islam secara sukarela (tidak ada paksaan);
4. Mengakui dan patuh kepada pemerintah dan hukum negara Acheh.

Sehubungan dengan itu, Kabinet Belanda yang bersidang pada 15 Agustus, tahun 1888, telah memberi jawaban dengan menolak tawaran negara Acheh. (Tengku di Tiro Muhammad Hasan, LL.D, „Atjeh Bak Mata Donja“, halaman 37-39, 1968. Institut Atjeh di Amerika.)
Ke-empat syarat yang ditawarkan pemimpin Acheh, merupakan bukti nyata dari keagungan moral bangsa Acheh kepada musuh, sekaligus membuktikan bahwa Acheh adalah bangsa yang beradab. Walaupun sebenarnya, tawaran tersebut bisa diatur kemudian, setelah serdadu Belanda secara pasti dan benar-benar sudah takluk –kalah total dan tidak lagi melakukan gerak militer dan intelijen– di Acheh. Kompromi politik dan militer hanya berlaku jika kuasa mutlak sudah berada di tangan kita. Ternyata dengan pendekatan psikis –taktik mengulur waktu dan tentara Acheh tidak agresif menyerang serdadu Berlanda yang sudah terkurung– Belanda secara rahasia, mengirim pasokan senjata beserta 5000 serdadunya asal Jawa untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA.

Belanda perlukan masa tiga tahun untuk memberi jawaban terakhir. Menurut analisis saya pribadi bahwa: jawaban Belanda yang berisi menolak tawaran negara Acheh, setelah pakar psikology Belanda meneliti karateristik bangsa Acheh yang unik selama beberapa tahun dan menyimpulkan bahwa: bangsa Acheh sebenarnya memiliki sifat jujur, ikhlas, mempercayai prilaku musuh yang pura-pura sudah takluk, baik hati, pema’af walau sudah pernah diperangi. Dan sifat-sifat mulia dan terpuji ini, kita coba giring dan manfaatkan untuk kepentingan politik dan militer kita (Belanda).

Dalam realitasnya, ternyata sifat toleran Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman kepada musuh, dipakai sebagai alat untuk melawan bangsa Acheh. Dengan motto: “tidak mengenal kamus jera”, serdadu Belanda terus- menerus melancarkan perang, sekaligus memperlihatkan kepada mata dunia, bahwa Belanda tidak mau mengalah kepada Acheh. Ternyata penantian –taktik mengulur waktu– membuahkan hasil, dimana dinas intelijen Belanda secara diam-diam memperalat seorang perempuan Acheh (isteri Pang Abu) yang bekerja sebagai juru masak Tengku Thjik di Tiro supaya membubuh racun dalam makanan Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman sampai mati. Untuk itu Belanda menjanjikan memberi emas batangan kepada pengkhianat ini. Akhirnya, Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia karena diracun pada 25 Januari tahun 1891. [Dalam sejarah pengkhianat bangsa: siapa saja, kapan saja dan dimana saja tidak akan pernah selamat. Perempuan –pengkhianat bangsa Acheh ini– akhirnya gigit jari, sebab Belanda tidak memberi apapaun kepada pengkhianat ini, kecuali membunuhnya. Hal yang sama pernah dirasakan sebelumnya oleh Pang Tibang. Setelah ia memberi maklumat lengkap tentang: peta kedudukan Istana Acheh untuk memudahkan serangan, jumlah pengawal Istana dan kekuatan TNA kepada Kôhler (panglima perang Belanda) dalam kapal perang Belanda di perairan Riau. Akhirnya Pang Tibang dibunuh oleh serdadu Belanda. Alasannya logis. Kepada bangsanya sendiri berkhianat, apalagi kepada bangsa lain. Pengkhianat generasi muda Acheh –Amri bin Abd Wahab– yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh penjajah Indonesia untuk menikmati fasitas tertentu, ternyata meringkuk dalam sel Komdak Metro Jakarta Raya. Sesekali diajak mencari anggota GAM yang dicurigai berdomisili di Jakarta. Contoh lain, juga mengingatkan kita kepada Jenderal Mohammad Ibrahim Omar al-Muslit, seorang pengawal pribadi, kerabat, penghubung antara Saddam Hussein dengan kerabat-kerabatnya, rekan dekat sepanjang masa menghilangnya Saddam, yang berkhianat karena tergiur dengan tawaran 25 juta dolar AS (sekitar Rp 212 miliar) oleh USA, dengan syarat menunjuk tempat persembunyian Saddam Hussein. Untuk itu al-Muslit membius Saddam terlebih dahulu sebelum menunjukkan lokasi persembunyian Saddam kepada tentara koalisi pimpinan AS. Apa yang terjadi sesudah Saddam ditangkap. Mayor Stan Murphy, kepala intelijen Brigade Pertama Divisi Infantri IV AD AS di Tikrit, berkata: ”Pria tersebut –yang kini ditahan pasukan Amerika di Bagdad– tertutup kemungkinan menerima uang 25 juta dolar AS, atas informasi yang dia berikan.]


Setelah mati syahid Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman, maka berakhirlah pengabdian beliau kepada perjuangan melawan Belanda (1874 – 1891). Bicara soal famili di Tiro, bukan berhenti di sini, sebab pucuk pimpinan negara Acheh langsung digantikan oleh Tengku Thjik di Tiro Muhammad Amin.


Dalam suasana berkabung, Belanda memanfaatkan situasi ini untuk menyusun kekuatan dan melancarkan perang, sebab sudah memperoleh pasokan senjata beserta 5000 serdadu asal Jawa dan Madura untuk mengepung kubu-kubu pertahanan TNA, maka pada 26 Maret 1896 meletus perang “Aneuk Galong” yang amat dahsyat yang mengakibatkan syahidnya Tengku Thjik di Tiro Muhammad Amin 1896.


Dari lapangan perang, H.C Zentgraaf melaporkan: “Bangsa Acheh berperang seperti singa, ramai yang memilih mati dalam kota yang terbakar hangus, daripada menyerah. Perang ini adalah perang main cincang dengan senjata di tangan, pertarungan satu lawan satu yang amat dahsyat, tidak ada yang minta ampun dan memberi ampun…Diantara yang mati dalam perang ini ialah Tengku Thjik di Tiro Muhammad Amin. Mayat beliau diselamatkan dan dibawa oleh orang Acheh ke kampung Mureue, disanalah beliau dikuburkan.” (1891 – 1896).
Setelah mati syahid Tengku Thjik Muhammad Amin di Tiro, posisi beliau digantikan oleh Tengku Thjik Ubaidillah di Tiro (1896 – 1899). Setelah beliau syahid dalam medan perang, pimpinan tertinggi negara digantikan oleh Tengku Thjik Lambada di Tiro (1899 – 1904). Setelah beliau mati syahid dalam perang, pimpinan tertinggi negara digantikan oleh Tengku Thjik Muhammad Ali Zainal Abidin di Tiro (alias Tengku Bukét). Beliau juga syahid dalam medan perang Gunung Alimon yang meletus pada 21 Mei 1910 (1904 – 1910). Sesudah itu, pimpinan tertinggi negara digantingan oleh Tengku Thjik Mahjédidin di Tiro.


Pada ketika itulah, Belanda mencoba berunding kembali supaya berdamai dengan Belanda. Untuk itu belanda memperalat petinggi politisi Acheh yang sudah menyerah: Tuanku Radja Keumala, Tuanku Mahmud dan Teuku Panglima Polém Muhammad Dawôd untuk mengirim surat kepada Mahjédidin di Tiro supaya menyerah. Dalam hubungan ini, Ahli sejarah Belanda mengomentari bahwa: ”surat tersebut sudah diterima oleh Tengku Majét dan kita tahu bahwa beliau mengadakan musyawarah dengan ketiga orang yang sudah menyerah tersebut beserta dengan panglima-panglima lain. Tidak seorangpun diantara mereka yang mau menyerah. Tidak seorangpun yang mau meninggalkan perjuangan: semua mereka tetap bertekat untuk berperang sampai pada titik terakhir, dan sudah siap sedia menerima semua resiko apapun sebagai akibat daripada perjuangan ini sebagai kehendak daripada Allah”. Beliau –Mahjédidin di Tiro– mati syahid dalam medan perang Alue Simi yang meletus pada 5 September 1910. Seterusnya, pimpinan tertinggi negara digantikan oleh Tengku Thjik Ma’at di Tiro. Inilah komenter pengarang Belanda atas meninggalnya Tengku Ma’at di Tiro ”Kisah kematian Tengku di Tiro yang terakhir ini memberi bahan kepada suatu roman sejarah; begitulah, sudah tertanam dalam riwayat perang Acheh untuk menjadi bahan sejarah kepahlawanan yang begitu kuat dan luar biasa dan begitu kayanya, sehingga tidak ada lain lagi yang dapat memberi kebanggaan dan kebesaran kepada suatu bangsa”. Akhirnya, beliaupun mati syahid dalam medan perang Alue Bhôt yang meletus pada 3 Desember 1911.


Famili di Tiro telah memperlihatkan keteladanan yang indah dan mengagumkan sebagai hero, sehingga menjadi pelajaran kepada musuh dan kepada bangsa Acheh. Dalam konteks ini, Colonel H J Schmidt memcatat: “From the beginning of the war, the members of the family of the Tengku di Tiro played the greatest role and the most important on the Achehnese side. For them and their men, there was no other possibilities acceptable than to win this war, or to die a hero’s death.
Victory was clearly impossible, and unobtainable. And yet, dispite everything, they stood fast, and fought like heroes. Despite the odds against him, a Tengku di Tiro recognized no other possibility for him except death.
Thus, in this war, everything became simple, short, and matter of fact: the latter of the surviving Tengku di Tiro died in the battlefields… and these scenes had become the inevitable last acts of the continuing Achehnese drama, that, by now, could no longer be played in any other way” (Marechaussee in Atjèh, 1942)


Musuh –Belanda– mengakui siapa famili di Tiro dengan berkata: “Too much blood of the di Tiro family had been spilled; the method of the destruction of these men was so merciless that Schmidt (the Dutch Commander) wanted to make another attemp at saving the life of his sixteen years old boy. This was not easy: the irreconcilability of these men did not leave any space for compromise. And if letters were sent to him in which the safety of their lives were guaranteed and a treatment according to their social status was promised if ththey would give up, no reply was received, and later the letter were found on their dead bodies. Whatever the outcome, another attempt had to be made: the courage and the unlimited steadfastness of these enemies impressed us too, and one thought it had been enough, more than enough.” (H.C Zentgraaff, Atjèh)


Mulai dari tahun 1911–1975 , Acheh kehilangan kepemimpinan nasional –lost generation– suatu priode dimana Acheh, berada dalam tahap yang kritikal dan menyedihkan, sebab tidak seorangpun yang mampu berpikir dan bebuat untuk membela maruah, kemerdekaan dan kedaulatan negara Acheh. Diakui bahwa perang melawan Belanda tetap diteruskan oleh kaum Ulama Acheh sampai tahun 1942, tetapi hanya bersifat lokal, artinya: perlawanan tersebut tida dapat lagi dikoordinasi secara nasional. Pada 4 Desember 1976, yang berarti 65 tahun kemudian, baru bangkit lagi Tengku Hasan M. di Tiro (keturunan famili di Tiro) membangunkan bangsa Acheh yang lelap tertidur dari kebanggaan sejarahnya, membimbing dan menuntun bangsa Acheh ke arah berpikir merdeka. Hal tersebut telah beliau lakukan jauh sebelum tahun 1976, lewat seminar, tulisan ilmiah dan buku sejarah tentang Acheh. Pada 4 Desember 1876, beliau memproklamirkan kemerdekaan Acheh kembali di bumi Acheh, di hadapan dan disaksikan oleh bangsa Acheh, sebagai negara sambungan –successor state– yang terputus sejak 4 Desember 1911, kini sejarah tersebut bersambung kembali.


Musuh bangsa Acheh kini bertukar baju dari Belanda kepada Indonesia, tetapi sama bentuk, prinsip dan tujuannya, yakni: ingin menjajah dan menguasai Acheh. Dalam konteks Indonesia, Tengku Hasan M di Tiro berkata: „... Saya sendiri tidak percaya lagi pada ‚Indonesia’ sebagai satu bentuk negara yang kekal, atau satu kebangsaan yang sesungguhnya dan dapat diterima, sebab ‚Indonesia’ sudah menjadi satu kerajaan penjajahan Jawa...“ (lihat: Luth Ari Linge. „Malapetaka Di Bumi Sumatera“, halaman 34.“


Kini, pola perjuangan kita mesti disesuaikan dengan tuntutan zaman, yang berbeda dengan pola perjuangan pada tahun 1873. Bangsa Acheh dihadapkan kepada International political will yang pandangan mereka tentang Acheh tidak lagi seperti dahulu, kepentingan politik Asia Tenggara dengan ASEAN-nya dan politik penjajah Indonesia sendiri, yang semakin brutal, barbarik dan memperlihat arogansi yang terlalu berlebihan.


Di saat-saat seperti inilah diperlukan keteguhan jiwa, mampu mengendalikan emosi, cepat mengambil keputusan, (menjoë keumaih ta plung lagèë lapôh, keupeuë ta blôh lagèë banèng paja, meunjoë uroënjoë keumaih ta tjok peunutôih, keupeuë ta prèh singoh dan lusa – Kalau kita mampu lari seperti rusa, untuk apa kita jalan seperti penyu rawa, kalau hari ini mampu kita ambil keputusan, buat apa kita tunggu esok dan lusa), menata kembali segala kelemahan dan kekurangan, serta mampu menerjemahkan fakta sejarah ke dalam hati nurani para pejuang Acheh dimana saja berada, jangan jumud berpikir. Cerdaslah melihat perubahan zaman, jika tidak kita akan digilas dan ditelan. Sadarlah bahwa Acheh adalah suatu bangsa yang memiliki identitas dan karakteristik yang berbeda dengan bangsa lain. Hal ini dikatakan: “Bangsa Acheh sudah tentu akan memperlihatkan bukti jati dirinya bahwa mereka bukan suatu lawan yang dapat dihina. Orang Acheh adalah suatu bangsa beradab dari zaman dahulu, yang biasa berperang, sesekali menang, kadangkala kalah, tetapi biar pun menang, biar pun kalah, tidak pernah diperoleh tanpa kemuliaan ... Bangsa Acheh memang selalu terkenal karena gagah berani dan tahu menempatkan diri, lebih daripada bangsa-bangsa lain di sekeliling negara Acheh.“ Suratkabar The London Times, 29 April 1873. Sekian!


klik.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Followers