Dalam sebuah
obrolan ringan antara penulis dengan beberapa PNS di kecamatan. saat itu
penulis bermaksud untuk mengurus surat pindah karena alasan study. Seorang
diantara mereka bertanya,” adik kuliah dimana”?. Dengan sedikit bangga saya
menjawab “saya kuliah di solo, jawa tengah”. Temannya yang lain ikut bertanya, “ dijurusan apa”? kali
ini dengan sangat bangga penulis menjawab “ jurusan ilmu komunikasi”.
Namun alangkah
kagetnya ketika mereka memiliki suatu
stereotype tentang jurusan study yang sedang penulis tempuh. Dengan entengnya
mereka berkata “ komunikasi? Masa mau berbicara saja harus kuliah dulu, paling
kalau lulus nanti kerja Cuma jadi pemberi kata kata sambutan kalau ada hajatan
atau orang meninggal”.
Cerita diatas
yang dialami penulis menunjukkan ketidakpahaman masyarakat mengenai ilmu
komunikasi. Bisa saja ketidakpahaman ini disebabkan dari latar pendidikan
mereka, namun diluar dari pada itu ilmu komunikasi ternyata masih harus
membuktikan dirinya bahwa komunikasi tidaklah segampang yang mereka kira.
Benarkah
ungkapan tersebut bahwa komunikasi tidak segampang yang kita kira?
Dalam bukunya ilmu komunikasi sebagai sebuah pengantar, prof.dedy
mulyana banyak memberi gambaran tentang komunikasi yang ternyata sangatlah
rumit. Sebuah ilustrasi diberikan oleh prof. dedy mulyana untuk menggambarkan
kesulitan ini
“terbukti bahwa
kekeliruan dalam komunikasi, dapat membawa sebuah bencana. Kesalahan
menerjemahkan pesan yang dikirim pemerintah jepang di akhir perang dunia ke II
mengakibatkan terjadinya targedi Hiroshima dan Nagasaki. Kata mokusatsu yang dugunakan jepang sebagai
syarat menyerah diartikan domei yang
berarti “mengabaikan” oleh tentara amerika. Padahal kata mokusatsu itu sendiri bermakna “ kami akan menaati ultimatum tuan
tanpa komentar”. Sementara pasukan amerika terlanjur mengartikan “ no koment”
sehingga bob atom pun dijatuhkan.”
Ilustrasi yang
diberikan oleh prof dedy mulyana ini mungkin tidak akan mudah bisa dipahami
oleh PNS di kecamatan yang terlibat obrolan dengan penulis yang sudah telanjur
menganggap komunikasi hanya sebatas berbicara saja.
Mengapa
komunikasi harus dipelajari?, bukankah setiap hari kita sudah mengalami
komunikasi? Ternyata sekali lagi memahami komunikasi adalah memahami apa yang
terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, akibat apa yang
ditimbulkan dan pada akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi
hasil-hasil dari proses komunikasi tersebut (porter dan samovar). Dari sini
kita punya gambaran baru bahwa meskipun komunikasi sudah kita lakukan setiap
hari namun diluar dari pada itu kita masih harus terus mempelajari komunikasi.
Ini menandakan betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan. Sekaligus
menegaskan bahwa komunikasi memiliki cakupan yang lebih luas tidak semata-mata
pada berbicara saja.
Thomas
m.scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi untuk menyatakan dan mendukung
identitas diri, untuk membangun kontak social dengan orang disekitar kita dan
untuk mempengaruhi orang lain agar berfikir dan bersikap seperti kita. Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah
komunitas(community) yang berarti kebersamaan hal ini memiliki hubungan dengan
istilah awal komunikasi yaitu comunis yang berarti “sama”. Komunikasi
menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna,atau suatu pesan dianut secara
sama. Begitu juga dengan komunitas yang bermakna sekumpulan orang yang hidup
bersama dengan tujuan yang sama pula.Tanpa komunikasi tidak ada komunitas,
komunitas bergantung pada pengalamaan dan emosi bersama dan komunikasi berperan
untuk menjelaskan kebersamaan itu (dedy mulyana, ilmu komunikasi suatu pengantar.hal 46)
Semakin rumit
bukan? Semakin pula ingatan penulis tertuju kepada PNS dikecamatan. Dan
sepertinya mereka akan membutuhkan waktu yang lama untuk memahaminya.
Media massa dan peranannya
Di era yang
semakin modern ini komunikasi seakan mendapatkan “wadah yang nyaman” dalam
sosok media massa. Jika kita melihat pandangan Thomas M.scheidel diatas maka
kita bisa menemukan bagaimana komunikasi “ berjalan lebih nyaman” dengan media
massa. Manusia bisa melakukan proses aktulisasi dengan berkomunikasi dan kini
menjadi lebih komplit ketika proses itu mendapat bantuan dari media massa.
Media massa
menjadi elemen dasar jika komunikasi kemudian kita jabarkan sampai kepada
komunikasi massa. Meski banyak devinisi yang bisa menjelaskan tentang
komunikasi massa namun mengaitkan komunikasi massa dengan media massa adalah
pilihan terbaik. Komunikasi massa itu sendiri adalah komunikasi yang
menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik termasuk juga fenomena new
media dalam bentuk internet.
Penulis sangat
tertarik dengan ungkapan humoris will rogers,” yang saya tahu adalah apa yang saya
baca di surat kabar”. Ungkapan ini sudah sangat menjelaskan tentang peran media
massa dalam kehidupan manusia.
Dari kita bangun
tidur sampai kita tidur lagipun yang terbayang adalah apa yang kita liat dari
televisi, yang kita dengar dari radio dan apa yang kita baca dari Koran. Media
massa sudah sangat menyatu dalam sendi-sendi kehidupan manusia.
Semua informasi
yang kita butuhkan untuk kehidupan kita sudah disediakan oleh media massa.
Sehingga jika kita harus memberi ukuran seberapa besar peranan media massa
dalam kehidupan kita maka akan sangat sulit untuk menggambarkannya.
Ketika terjadi
suatu peristiwa disekitar kita, dan bahkan kitapun menjadi saksinya, namun
tetap saja kita masih berburu Koran, rebutan remote tv hanya untuk melihat dan
mendengar peristiwa yang terjadi didepan kita. Itulah gambaran betapa
pentingnya media massa dalam kehidupan manusia.
Peran lain dari
media massa adalah ketika kekuatannya mampu membawa seseorang mencapai puncak
popolaritasnya, membuat manusia merasa hebat namun pada akhirnya media massa jualah yang akan meruntuhkannya.
Mungkin kejadian-kejadian yang menimpa “artis youtube” di Indonesia bisa
menjadi gambaran. Seorang Norman Kamaru beserta kawan-kawannya yang lain dibuat
melejit oleh media massa namun setelahnya media massa juga yang membuatnya
kembali membumi.
Diakui atau tidak,salah satu factor kemajuan
dalam masyarakat disebabkan oleh peran media massa. Namun sebaliknya kekacauan,
kemerosotan moral dan tindak kekerasan yang timbul dalam masyrakat juga
disebabkan oleh media massa.
Televisi untuk kehidupan lebih baik?
Dalam kesempatan ini penulis akan memfokuskan
analisisnya tentang media massa terhadap televisi. Penulis tertarik dengan pembahasan
televisi karena salah satu contoh media massa ini mampu menciptakan
fenomena-fenomena baru dalam kehidupan manusia.
Dibandingkan
contoh media massa lainnya seperti Koran maupun radio, televisi menjadi menarik
karena banyaknya penelitian dan teori
yang kemudian dikembangkan berdasarkan fenomena yang diciptakaan oleh televisi.
Dengan tidak bermaksud menyepelekan
peran radio maupun Koran penulis berpendapat bahwa apa yang kita dengar dan
kita liat ditelevisi adalah cerminan dari apa yang pernah dialami oleh sebagian
orang.
Televisi dengan
audio visualnya memiliki daya tarik yang luat biasa dan menjadi senjata atau
alat propaganda yang sangat ampuh untuk mempengaruhi orang lain, dan tentunya
mampu menciptakan hyper realitas bagi
sebagian besar khalayaknya. Sedikit ingin melihat teori, maka teori kultivasi
sangat cocok untuk dikaitkan dengan televisi.
Efek kultivasi
memberikan kesan bahwa televisi memberikan dampak yang sangat kuat pada diri
individu sehingga memunculkan anggapan bahwa lingkungan disekitar tempat
tinggalnya sama seperti yang ditampilkan televisi.
Yang lebih
menarik lagi dari televisi adalah sistem konglomerasinya, banyak kepentingan yang kemudian dicapai
dengan televisi sebagai media massa yang sangat komplit. Persaingan surya paloh selaku owner MEDIA
INDONESIA (metro tv) dengan aburizal bakri dengan tv one dan antv-nya dalam
kancah politik mempengaruhi nilai-nilai berita yang kemudian disuguhkan kepada
khalayak.
Perang
kepentingan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakri semakin terlihat heboh ketika
Harry Tanoe Sudibjo (owner MNC group
)ikut bergabung dengan surya paloh untuk “melawan” bakrie group.
Isu-isu menarik
sarat kepentinganpun menjadi hiburan
menarik bagi khalayak jika khalayak bisa bersikap skeptis dan tidak pasif. Isu dualisme kompetisi ditubuh PSSI juga tak
luput dari pantauan “juragan media” ini. Permasalahan PSSI antara IPL yang
dianggap resmi oleh PSSI dan ISL sebagai liga illegal mendapat dukungan masing-
masing dari pemilik media ini. MNC group menjadi pendukung IPL dengan membeli
hak siar kompetisi, sementara ANTV tetap setia dengan ISLnya.
Setelah kita
melihat persaingan dari para “juragan media” dan televisi masih memeliki
kedudukan sebagai alat propaganda yang berusaha mempengaruhi pikiran orang
lain, masihkah kita menganggap televisi mampu menjadikan hidup kita menjadi
lebih baik?
Televisi dan new media
Dalam pengamatan
penulis, munculnya internet sebagai new media disambut dengan hangat oleh televisi. Dan keduanya membentuk hubungan yang kuat
untuk saling mendukung dan menjaga eksistensinya. Fenomena artis dadakan versi
youtube seperti yang banyak terjadi di Indonesia tidak akan seheboh ini jika
tidak adanya campur tangan televisi.
Hampir dalam setiap kesempatannya televisi
menampilkan kehebohan yang terjadi di new media internet tersebut. Norman
Kamaru, Shinta Jojo dan yang lainnya tentu tidak akan meningkat popularitasnya
jika hanya mengandalkan new media (internet). Popularitas mereka melambung justru ketika televisi seakan
melengkapkan peran new media massa dengan memfollow up fenomena tersebut.
Namun ada hal
positif lainnya dari televisi ini, kemampuannya untuk mengcover semua peristiwa
sangat luar biasa. Belakangan ini kita disuguhkan dengan tayangan-tayangan yang
bersifat human interest yang mampu membuka mata dan pikiran kita untuk melihat
sisi – sisi lain dari kehidupan kita. Dalam posisi seperti ini televisi
menempatkan dirinya sebagai pengingat dan penggugah hati audiennya.
Pada akhirnya
orang-orang yang kritis akan melihat televisi sebagai dua mata ujung pisau,
penuh dengan sisi negative dan disisi lainnya disisi dengan nilai-nilai
positif. Jika kembali ingin melihat fenomena ini maka kita bisa melihatnya
dalam teori peluru atau jarum sunti. Namun ada yang harus kita lawan dari teori
ini yaitu khalayak sudak tidak relavan lagi dengan perkembangan modern jika
masih bersifat pasif dan atomisme dengan menerima pesan media dengan mentah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.